Bagi anda pembaca yang
pernah datang ke Yogyakarta, tentunya kota ini memiliki kesan mendalam. Citra
Yogya tetap melekat di hati setiap manusia yang pernah berkunjung ke kota ini.
Salah satu yang menjadi keistimewaan kota ini adalah pusat kebudayaan Jawa, yaitu
Keraton Ngayogyokarto yang terus tetap berkembang. Dengan arsitektur bangunan
yang menarik dan khas, keraton memberikan keindahan tersendiri. Termasuk
beberapa peninggalan di zaman Sultan HB I, yang cukup banyak bertebaran di kota
Yogyakarta. Salah satunya adalah sebuah gapura yang berbentuk melengkung.
Gapura ini adalah bagian dari pintu masuk benteng yang mengelilingi keraton
Yogyakarta. Karena bentuknya melengkung, maka gapura ini dinamakan Plengkung
Gading.
Plengkung gading
merupakan satu dari lima plengkung yang merupakan pintu masuk ke jeron (dalam)
benteng. Dalam sejarahnya plengkung gading mempunyai nama asli plengkung
nirbaya. Plengkung ini terletak di sebelah selatan alun-alun selatan keraton
Yogyakarta. Dari sumber tertulis mengatakan bahwa, dalam sistem tata letak
keraton Yogyakarta, plengkung ini digunakan untuk pintu keluar jenazah Sultan
yang mangkat.. Maka konon selama Sultan masih hidup tidak diperkenankan
melewati plengkung nirbaya ini.
Di zaman sekarang di
antara lima plengkung yang masih bisa dilihat yaitu plengkung gading di sebelah
selatan dan Plengkung Wijilan yang terletak di sebelah timur alun-alun utara.
Pembangunan plengkung yang menjadi bagian dari benteng ini tidak lepas dari
reaksi Sultan HB I atas pembangunan benteng Vredeburg oleh Belanda di sebelah
utara keraton. Maka dibuatlah benteng Baluwarti yang pada masa lalu juga
dikelilingi parit guna pertahanan keraton dari serangan Belanda.
Dalam perkembangan zaman
sekarang benteng Baluwarti ini tidak lepas juga dengan pembangunan perumahan di
sekitarnya. Beberapa bagian benteng ini sudah hancur dimakan usia. Sangat
disayangkan memang sebuah bagian dari keagungan masa lalu hilang tanpa bekas.
Namun generasi sekarang masih diingatkan oleh sisa-sisa yang bisa diabadikan
dan diamati. Termasuk juga pojok Benteng Wetan (timur), pojok Benteng Kulon
(barat) dan pojok Benteng Lor (utara) yang sampai saat ini bisa dinikmati.
Sebagai kota bersejarah
tentunya pemerintah punya kepedulian dengan perawatan berbagai situs
peninggalan masa lalu. Jangan sampai peninggalan ini menjadi korban vandalisme,
sehingga sampai merusak berbagai macam situs sejarah. Karena dengan
dilestarikannya situs masa lalu ini Yogyakarta akan tetap menarik dan punya
keunikan tersendiri.
Dari sumber seorang rekan
yang sedang studi di Vatikan, Roma, mengatakan bahwa banyak peninggalan
bangunan sejarah yang sampai hari inipun tidak berubah. Artinya entah
pemerintah
atau masyarakat sangat
peduli dengan bangunan sejarah sebagai penghargaan terhadap nilai seni dan
periode sejarah masa lalu. Untuk itu bangunan sejarah menjadi ikon kota-kota di
Eropa. Lebih dari pada itu bangunan sejarah bisa menjadi aset wisata dan mendatangkan
devisa bagi pemerintah.
Mengapa di Indonesia
tidak bisa? Saya yakin pemerintah kota
di Indonesia ini mampu mengelola situs sejarah yang bisa dikenalkan kepada
wisatawan. Memang diperlukan biaya yang
tidak sedikit, namun selain itu ada hal yang jauh lebih penting dari
pelestarian situs sejarah. Yaitu kepedulian kita terhadap kejayaan dan kearifan
yang ditinggalkan serta masih bisa dimaknai sampai sekarang.
Zaman boleh berkembang
dan menjadi modern, tapi sebuah kota tidak akan terlepas dari sejarah masa
lalu. Termasuk kota Yogyakarta yang memiliki nilai-nilai budaya yang akan terus
menawarkan keunikan dan kekhasan bagi siapa saja. Oleh karena itu, plengkung
gading akan tetap lestari dan menjadi ikon sejarah kota budaya, walaupun kota
Yogyakarta mengalami perkembangan arus zaman.
0 komentar:
Posting Komentar