Sabtu, 24 Januari 2015

Museum Affandi

Edit Posted by with 1 comment


Museum yang berlokasi ditepi barat sungai Gajah Wong di Jalan Solo ini dulunya juga merupakan tempat tinggal sang maestro pelukis Indonesia Affandi. Memperingati 100 tahun Affandi di 2007 ini, museum ini tidak hanya memamerkan lukisan Affandi melainkan juga lukisan putri-nya Kartika dan Rukmini. Menurut salah seorang pemandu masih ada sekitar 300-an karya Affandi yang masih disimpan (belum dipamerkan).
Tiket masuknya seharga Rp 10.000,- dan apabila kita membawa kamera maka biaya sebesar Rp 10.000.- akan dikenakan lagi kepada kita, namun kita diberi kebebasan untuk memotret seluruh bagian galeri termasuk koleksi lukisan yang dipamerkan !
Bertempat di atas tanah seluas kurang lebih 3.500m2 arsitektur museum ini menunjukkan kebersahajaan sang maestro. Bentuk atap bangunan galeri semuanya menyerupai pelepah daun pisang dan seluruhnya dirancang oleh sang maestro sendiri. Pembangunannya dilakukan secara bertahap, total terdapat 3 galeri pamer, rumah tinggal dan ruang keluarga berbentuk gerobak sapi yang dibuat Affandi atas permintaan istrinya Maryati ketika dirinya sudah beranjak tua dan tak mampu lagi menaiki tangga menuju rumah utama. Awalnya Maryati meminta Affandi untuk membuatkan dirinya sebuah caravan dengan alasan caravan bisa dibawa kemana saja dan oleh Affandi diwujudkan dalam bentuk gerobak sapi.





Galeri I selesai dibangun pada tahun 1962 diatas tanah seluas 314.6m2 yang diresmikan oleh
Dirjen Kebudayaan pada waktu itu Prof. Ida Bagus Mantra pada tahun 1974. Dalam galeri ini kita bisa menikmati karya lukisan Affandi dari awal-awal karir melukis hingga yang tahun-tahun terakhir masa hidupnya berupa sketsa, lukisan cat air, pastel serta cat minyak diatas kanvas. Mobil kesayangan Affandi semasa hidup yaitu Colt Gallant buatan tahun 1976 juga turut dipamerkan di Galeri I ini. Uniknya mobil itu sudah di-modifikasi sehingga memiliki bentuk menyerupai ikan. Selain itu ada beberapa penghargaan baik dari dalam maupun luar negeri seperti Penghargaan Doctor Honoris Causa dari National University of Singapore di tahun 1974. Koleksi perangko seri Affandi yang pernah diterbitkan bahkan sepeda Affandi turut dipamerkan disini.
Dalam Galeri II (yang selesai dibangun pada tahun 1988 dan diresmikan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada waktu itu Prof. Dr. Fuad Hassan) akan banyak ditemukan lukisan karya Kartika yang dipamerkan untuk dijual, menurut pemandu hal ini dalam rangka memperingati 100th Affandi di 2007. Kalau anda bertanya-tanya mengapa Affandi memilih gaya melukis seperti sekarang dengan mempelotot-kan (mengeluarkan sebagian isi cat langsung dari tube-nya) langsung cat tanpa menggunakan palet untuk mencampur warna, maka anda bisa menemukan jawabannya di Galeri II ini melalui sketsa “Gambar Sendiri” dimana Affandi menulis:
Tjat tube saja gariskan sekaligus di canvas, tapi kemudian disapu dengan tangan atau penseal. Ini tjara saja temukan dan gunakan untuk memudahkan dan mempertjepat pekerdjaan. Bukan oleh karena tjepat, tetapi supaja mengalirnja emosi djangan diganggu. Kalau saja pakai palet, dus mentjampur warna di palet, itu waktu mengganggu mengalirnja expresi, dan memberikan kesempatan menggunakan otak .















Galeri III dipergunakan sebagai ruang pamer karya lukis putrinya, Kartika dan Rukmini serta beberapa sulaman karya sang istri, Maryati. Galeri ini selesai dibangun pada tahun 1997 dan diresmikan oleh Sri Sultan HB X. Galeri ini terdiri dari 3 lantai bangunan dimana dilantai bawah tanah dipergunakan sebagai tempat menyimpan lukisan, lantai 1 untuk ruang pameran, lantai 2 dipergunakan sebagai ruang perbaikan/perawatan lukisan.
Rumah Affandi sendiri masih berada dikompleks museum dan ruang pamer. Atap bangunannya masih berbentuk pelepah daun pisang. Kolam renang kecil yang terletak dibagian bawah dulunya menjadi tempat berkumpulnya para cucu Affandi. Kolam ini sempat dibuka untuk umum tetapi ketika saya datang kolam sedang ditutup.
Didalam kompleks museum juga kita akan menemukan makam Affandi bersebelahan dengan makam istrinya, Maryati. Affandi wafat pada tanggal 23 May 1990 dan memilih tempat diantara Galeri I dan II sebagai tempat peristirahatannya yang terakhir dikelilingi oleh karya-karyanya.
Melihat kompleks museum Affandi secara keseluruhan seperti mengingatkan saya akan sosok Affandi sebagai pelukis yang sangat sederhana dan bersahaja. Semasa hidup Affandi sering mengenakan sarung dan kaus singlet putih yang kadang sudah sobek disana-sini sambil menghisap pipa kesayangannya. Tak jarang dengan pakaian seadanya itu ia berjalan kaki menemui penjual angkringan dan nongkrong bersama sehingga tidak ada yang menduga bahwa dia adalah sosok pelukis kenamaan yang mempunyai reputasi tingkat dunia.










Gaya melukis dengan cat warna langsung di-pelotot-kan diatas kanvas adalah ciri khas Affandi. Saya masih ingat dalam salah satu tayangan di TV --lebih dari satu dekade lalu-- menunjukkan sosok renta Affandi yang harus dituntun untuk sampai ke kanvas-nya, disana sudah menanti asisten pribadi yang sudah menyiapkan puluhan cat dalam keadaan sudah dipelototkan sehingga siap untuk digunakan oleh sang maestro. Tak lama adegan yang dinanti terjadi, pertarungan dua ayam jantan. Saat itu tangan tua Affandi bekerja dengan cepat seiring dengan terjadinya pertarungan ayam. Tube cat digoreskan keatas kanvas bergantian satu sama lain dengan cepat. Tidak ada palet untuk mencampur warna, tidak ada kuas yang dipergunakan untuk menorehkan cat. Hasilnya adalah lukisan berjudul “Cock Fighting” yang dibuat pada tahun 1976. Luar biasa !!!.
Affandi juga salah satu dari sedikit pelukis Indonesia yang karya-karyanya masih diburu para kolektor baik dalam maupun luar negeri dan harganya terus meninggi. Karya-karyanya pernah masuk ke Balai Lelang Christie’s dan Sotheby’s, tak heran ada orang yang bilang “Jangan percaya kalau ada orang menjual karya Affandi dengan harga dibawah Rp 300 juta.”

Rumah Sakit Bethesda

Edit Posted by with No comments


Rumah Sakit Bethesda telah melewati berbagai zaman yang selalu berubah. Dengan Predikat sebagai Rumah Sakit “Toeloeng” dengan Motto :  TOLONG DULU URUSAN BELAKANG telah memperoleh pengakuan penghargaan dari masyarakat atas  segala pelayanan selama ini.

Rumah Sakit Bethesda dalam melaksanakan pelayanan kepada masyarakat dilandasi dengan kasih, tidak membedakan suku, agama, budaya, golongan, serta derajat ekonomi.Untuk menjaga agar Rumah Sakit Bethesda tetap eksis pelayanannya ditengah-tengan masyarakat Yogyakarta dan sekitarnya, seluruh civitas hospitalia harus berusaha keras untuk mengembangkan pelayanan rumah sakit.  

Hal-hal yang tercatat dan merupakan bagian terpenting dari keberadaan Rumah Sakit Bethesda sejak tahun 1899 sampai saat ini antara lain sebagai rumah sakit pertama yang mempelopori pelayanan kesehatan bagi masyarakat, pencetus dan pengembang pendidikan keperawatan, pendiri 22 satelit pelayanan di beberapa wilayah di DIY, pelaksanaan pelayanan auto clinic bagi masyarakat pedesaan, pemimpin dalam pelayanan kegawatdaruratan, pencetus dan pengembang pelayanan stroke, pendukung dalam mengelola lingkungan hidup yang sehat, menjadi rumah sakit pendahulu di wilayah DIY dalam pelaksanaan akreditasi RS dan pelayanan rumah sakit yang bermutu dengan memperoleh ISO 9001: 2000.  

Dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat Yogyakarta dan sekitarnya, Rumah Sakit Bethesda telah melakukan perbaikan secara terus-menerus dan kepuasan customer menjadi tujuan dari pelayanan civitas hospitalia Rumah Sakit Bethesda kepada masyarakat.

Tugu Yogyakarta

Edit Posted by with No comments


Tugu Yogyakarta Dan Sejarahnya – Tugu Yogyakarta atau yang lebih dikenal sebagai Tugu Malioboro ini mempunyai nama lain Tugu Golong Gilig atau Tugu Pal Putih merupakan penanda batas utara kota tua Yogya. Tugu Yogya bukanlah tugu sembarang, tapi tugu Yogya ini adalah tugu yang memiliki mitos yang sangat bersejarah dan sejuta misteri di dalamnya, sehingga menjadi salah satu keistimewaan yang dimiliki kota Yogya.
Tugu Yogya dibangun pada tahun 1755 oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I, pendiri kraton Yogyakarta yang mempunyai nilai simbolis dan merupakan garis yang bersifat magis menghubungkan Laut Selatan, Kraton Yogya dan Gunung Merapi.
Pada saat awal berdirinya, bangunan ini secara tegas menggambarkan Manunggaling Kawula Gusti, semangat persatuan rakyat dan penguasa untuk melawan penjajahan.Semangat persatuan atau yang disebut golong gilig itu tergambar jelas pada bangunan tugu, tiangnya berbentuk gilig (silinder) dan puncaknya berbentuk golong (bulat), hingga akhirnya dinamakan Tugu Golong-Gilig.Keberadaan Tugu ini juga sebagai patokan arah ketika Sri Sultan Hamengku Buwono I pada waktu itu melakukan meditasi, yang menghadap puncak gunung Merapi. Bangunan Tugu Jogja saat awal dibangun berbentuk tiang silinder yang mengerucut ke atas, sementara bagian dasarnya berupa pagar yang melingkar, sedangkan bagian puncaknya berbentuk bulat. Ketinggian bangunan tugu golong gilig ini pada awalnya mencapai 25 meter
Kondisi Tugu Yogya ini berubah total pada 10 Juni 1867, di mana saat itu terjadi bencana alam gempa bumi besar yang mengguncang Yogyakarta, yang membuat bangunan tugu runtuh. Runtuhnya tugu karena gempa inilah yang membuat keadaan dalam kondisi transisi karena makna persatuan benar-benar tak tercermin pada bangunan tugu.
Pada tahun 1889, keadaan Tugu benar-benar berubah, saat pemerintah Belanda merenovasi seluruh bangunan tugu. Kala itu Tugu dibuat dengan bentuk persegi dengan tiap sisi dihiasi semacam prasasti yang menunjukkan siapa saja yang terlibat dalam renovasi itu. Bagian puncak tugu tak lagi bulat, tetapi berbentuk kerucut yang runcing.
Ketinggian bangunan pun menjadi lebih rendah, yakni hanya setinggi 15 meter atau 10 meter lebih rendah dari bangunan semula. Sejak saat itulah, tugu ini disebut sebagai De White Paal atau Tugu Pal Putih. Perombakan bangunan Tugu saat itu sebenarnya merupakan taktik Belanda untuk mengikis persatuan antara rakyat dan raja, namun melihat perjuangan rakyat dan raja di Yogyakarta yang berlangsung sesudahnya, akhirnya upaya tersebut tidak berhasil.

Sungai Gajah Wong Yogyakarta

Edit Posted by with No comments


Disebelah timur kota Yogyakarta terdapat sebuah sungai yang membujur dari utara keselatan, bernama sungai (kali) Gajah wong. Sungai ini bakalan dilintasi oleh orang-orang yang bepergian melalui jalan solo (dekat IAIN), jalan kusumanegara (dekat Kebun Binatang Gembira loka) atau jalan ngeksigondo yang menuju Kotagede. Sebagai tempat yang kaya akan adat dan tradisi, Yogyakarta punya berbagai kisah dan legenda. Termasuk keberadaan sungai Gajah Wong ini, berikut ini Legenda sungai Gajah wong yang Jogjaicon repost dari tulisan karya Henry Artiawan yudistira di Blog Cerita Rakyat Indonesia. Selamat menikmati.
Dalam kisah disebutkan, Kerajaan Mataram pernah berpusat di Kotagede, kurang lebih 7 kilometer arah tenggara kota Yogyakarta. Pada waktu itu Kerajaan Mataram dipimpin oleh Sultan Agung Hanyokrokusumo yang mempunyai beribu-ribu prajurit, termasuk pasukan berkuda dan pasukan gajah (Sultan Agung adalah raja Mataram yang menyerang kedudukan VOC Belanda di Batavia.Jogjaicon). Kanjeng sultan juga mempunyai abdi dalem-abdi dalem yang setia. Di antara abdi dalem itu terdapat seorang srati, bernama Ki Sapa Wira.
Setiap pagi, gajah Sultan yang bernama Kyai Dwipangga itu selalu dimandikan oleh Ki Sapa Wira di sungai di dekat Kraton Mataram. Oleh karena itu, gajah dari Negeri Siam itu selalu menurut dan terbiasa dengan perlakuan lembut Ki Sapa Wira. Pada suatu hari, Ki Sapa Wira sakit bisul di ketiaknya sehingga ia tidak bisa bergerak bebas, apalagi harus bekerja memandikan gajah. Oleh karena itu, Ki Sapa Wira menyuruh adik iparnya yang bernama Ki Kerti Pejok untuk menggantikan pekerjaannya. Sebenarnya, nama asli Ki Kerti Pejok adalah Kertiyuda. Namun karena terkena penyakit polio sejak lahir sehingga kalau berjalan meliuk-liuk pincang atau pejok menurut istilah Jawa, maka ia pun dipanggil Kerti Pejok.
"Tolong gantikan aku memandikan Kyai Dwipangga, Kerti,” kata Ki Sapa Wira.
“Baik, Kang,” jawab Ki Kerti. “Tapi bagaimana jika nanti Kyai Dwipangga tidak mau berendam, Kang?” sambungnya.
“Biasanya aku tepuk kaki belakangnya, lalu aku tarik buntutnya,” jawab Ki Sapa Wira.
Pagi itu Ki Kerti sudah berangkat menuju sungai bersama Ki Dwipangga. Badan gajah itu dua kali lipat badan kerbau, belalainya panjang, dan gadingnya berwarna putih mengkilat. Ki Kerti Pejok membawakan dua buah kelapa muda untuk makanan Ki Dwipangga agar gajah itu patuh kepadanya.
“Nih, ambillah untuk sarapan,” celetuk Ki Kerti sambil melemparkan sebuah kelapa muda ke arah Ki Dwipangga.
“Prak” kelapa itu ditangkap oleh Ki Dwipang¬ga dengan belalainya lalu dibanting pada batu besar di pinggir jalan. Dua buah kelapa sudah terbelah, dan Ki Dwipangga memakannya dengan lahap. Belum habis kelapa yang kedua, Ki Kerti sudah menyuruh Ki Dwipangga untuk berdiri dan berjalan lagi. Dipukulnya pantat gajah itu dengan cemeti yang dibawanya.
Setibanya di sungai, Ki Kerti menyuruh Ki Dwipangga untuk berendam. Sesaat kemudian, Ki Kerti segera memandikan gajah itu. Ia menggosok-gosok tubuh gajah tersebut dengan daun kelapa supaya lumpur-lumpur yang melekat cepat hilang. Setelah bersih, gajah itu segera dibawa pulang oleh Ki Kerti menuju kandangnya.
“Kang, gajahnya sudah saya mandikan sampai bersih,” lapor Ki Kerti kepada Ki Sapa Wira.
“Ya, terima kasih. Aku harap besok pagi kamu pergi memandikan Ki Dwipangga lagi. Setiap hari gajah itu harus dimandikan, apalagi pada saat musim kawin begini,” jawab Ki Sapa Wira sambil menghisap cerutunya.
Keesokan harinya, pagi-pagi Ki Kerti mendatangi rumah Ki Sapa Wira untuk menjemput Ki Dwipangga. Pagi itu langit kelihatan mendung, namun tidak ada tanda-tanda hujan akan turun. Segera Ki Kerti Pejok membawa Ki Dwipangga menuju sungai. Kali ini Ki Kerti Pejok agak kecewa karena sungai tempat memandikan gajah tersebut kelihatan dangkal. ‘Mana mungkin dapat memandikan gajah jika untuk berendam pun tidak bisa,’ pikir Ki Kerti Pejok. Kemudian ia membawa Ki Dwipangga ke arah hilir untuk mencari genangan sungai yang dalam.
“Ah, di sini kelihatannya lebih dalam. Aku akan memandikan Ki Dwipangga di sini saja. Dasar, Kanjeng Sultan orang yang aneh. Sungai sekecil ini kok digunakan untuk memandikan gajah,” gerutu Ki Kerti Pejok sambil terus menggosok punggung Ki Dwipangga.
Belum habis Ki Kerti Pejok menggerutu, tiba-tiba banjir bandang datang dari arah hulu.
“Hap  Hap  Tulung Tulung …,” teriak Ki Kerti Pejok sambil melambai-lambaikan tangannya.
Ia hanyut dan tenggelam bersama Ki Dwipangga hingga ke Laut Selatan. Keduanya pun meninggal karena tidak ada seorang pun yang dapat menolongnya.
Untuk mengingat peristiwa tersebut, Sultan Agung menamakan sungai itu Kali Gajah Wong, karena kali itu telah menghanyutkan gajah dan wong. Sungai itu terletak di sebelah timur kota Yogyakarta. Konon, tempat Ki Kerti memandikan gajah itu saat ini bersebelahan dengan kebun binatang Gembiraloka.

Batik Factory

Edit Posted by with No comments


Batik secara historis berasal dari zaman nenek moyang yang dikenal sejak abad XVII yang ditulis pada daun lontar.
Saat itu motif atau pola batik masih didominasi dengan bentuk binatang dan tanaman.
Namun dalam sejarah perkembangannya batik mengalami perkembangan, yaitu dari corak-corak lukisan binatang dan tanaman lambat laun beralih pada motif abstrak yang menyerupai awan, relief candi, wayang beber dan sebagainya. Selanjutnya melalui penggabungan corak lukisan dengan seni dekorasi pakaian, muncul seni batik tulis seperti yang kita kenal sekarang ini. Jenis dan corak batik tradisional tergolong amat banyak, namun corak dan variasinya sesuai engan filosofi dan budaya masing-masing daerah yang amat beragam. Khasanah budaya Bangsa Indonesia yang demikian kaya telah mendorong lahirnya berbagai corak dan jenis batik tradisional dengan ciri kekhususannya sendiri.
Sejarah pembatikan di Indonesia berkaitan dengan perkembangan kerajaan Majapahit dan kerajaan sesudahnya. Dalam beberapa catatan, pengembangan batik banyak dilakukan pada masa-masa kerajaan Mataram, kemudian pada masa kerajaan Solo dan Yogyakarta. Kesenian batik merupakan kesenian gambar di atas kain untuk pakaian yang menjadi salah satu kebudayaan keluarga raja-raja Indonesia zaman dulu. Awalnya batik dikerjakan hanya terbatas dalam kraton saja dan hasilnya untuk pakaian raja dan keluarga seta para pengikutnya. Oleh karena banyak dari pengikut raja yang tinggal diluar kraton, maka kesenian batik ini dibawa oleh mereka keluar kraton dan dikerjakan ditempatnya masing-masing.
Dalam perkembangannya lambat laun kesenian batik ini ditiru oleh rakyat terdekat dan selanjutnya meluas menjadi pekerjaan kaum wanita dalam rumah tangganya untuk mengisi waktu senggang. Selanjutnya, batik yang tadinya hanya pakaian keluarga istana, kemudian menjadi pakaian rakyat yang digemari, baik wanita maupun pria.
Bahan kain putih yang dipergunakan waktu itu adalah hasil tenunan sendiri. Sedangkan bahan-bahan pewarna yang dipakai terdiri dari tumbuh-tumbuhan asli Indonesia yang dibuat sendiri antara lain dari : pohon mengkudu, tinggi, soga, nila, dan bahan sodanya dibuat dari soda abu, serta garamnya dibuat dari tanah lumpur.
Jadi kerajinan batik ini di Indonesia telah dikenal sejak zaman kerajaan Majapahit dan terus berkembang hingga kerajaan berikutnya. Adapun mulai meluasnya kesenian batik ini menjadi mlik rakyat Indonesia dan khususnya suku Jawa ialah setelah akhir abad ke XVIII atau awal abad ke-XIX. Batik yang dihasilkan ialah semuanya batik tulis sampai awal abad ke-XX dan batik cap dikenal baru setelah usai perang dunia kesatu atau sekitar tahun 1920. Kini batik sudah menjadi bagian pakaian tradisional Indonesia.

Plengkung Gading

Edit Posted by with No comments


Bagi anda pembaca yang pernah datang ke Yogyakarta, tentunya kota ini memiliki kesan mendalam. Citra Yogya tetap melekat di hati setiap manusia yang pernah berkunjung ke kota ini. Salah satu yang menjadi keistimewaan kota ini adalah pusat kebudayaan Jawa, yaitu Keraton Ngayogyokarto yang terus tetap berkembang. Dengan arsitektur bangunan yang menarik dan khas, keraton memberikan keindahan tersendiri. Termasuk beberapa peninggalan di zaman Sultan HB I, yang cukup banyak bertebaran di kota Yogyakarta. Salah satunya adalah sebuah gapura yang berbentuk melengkung. Gapura ini adalah bagian dari pintu masuk benteng yang mengelilingi keraton Yogyakarta. Karena bentuknya melengkung, maka gapura ini dinamakan Plengkung Gading.
Plengkung gading merupakan satu dari lima plengkung yang merupakan pintu masuk ke jeron (dalam) benteng. Dalam sejarahnya plengkung gading mempunyai nama asli plengkung nirbaya. Plengkung ini terletak di sebelah selatan alun-alun selatan keraton Yogyakarta. Dari sumber tertulis mengatakan bahwa, dalam sistem tata letak keraton Yogyakarta, plengkung ini digunakan untuk pintu keluar jenazah Sultan yang mangkat.. Maka konon selama Sultan masih hidup tidak diperkenankan melewati plengkung nirbaya ini.
Di zaman sekarang di antara lima plengkung yang masih bisa dilihat yaitu plengkung gading di sebelah selatan dan Plengkung Wijilan yang terletak di sebelah timur alun-alun utara. Pembangunan plengkung yang menjadi bagian dari benteng ini tidak lepas dari reaksi Sultan HB I atas pembangunan benteng Vredeburg oleh Belanda di sebelah utara keraton. Maka dibuatlah benteng Baluwarti yang pada masa lalu juga dikelilingi parit guna pertahanan keraton dari serangan Belanda.
Dalam perkembangan zaman sekarang benteng Baluwarti ini tidak lepas juga dengan pembangunan perumahan di sekitarnya. Beberapa bagian benteng ini sudah hancur dimakan usia. Sangat disayangkan memang sebuah bagian dari keagungan masa lalu hilang tanpa bekas. Namun generasi sekarang masih diingatkan oleh sisa-sisa yang bisa diabadikan dan diamati. Termasuk juga pojok Benteng Wetan (timur), pojok Benteng Kulon (barat) dan pojok Benteng Lor (utara) yang sampai saat ini bisa dinikmati.
Sebagai kota bersejarah tentunya pemerintah punya kepedulian dengan perawatan berbagai situs peninggalan masa lalu. Jangan sampai peninggalan ini menjadi korban vandalisme, sehingga sampai merusak berbagai macam situs sejarah. Karena dengan dilestarikannya situs masa lalu ini Yogyakarta akan tetap menarik dan punya keunikan tersendiri.
Dari sumber seorang rekan yang sedang studi di Vatikan, Roma, mengatakan bahwa banyak peninggalan bangunan sejarah yang sampai hari inipun tidak berubah. Artinya entah pemerintah
atau masyarakat sangat peduli dengan bangunan sejarah sebagai penghargaan terhadap nilai seni dan periode sejarah masa lalu. Untuk itu bangunan sejarah menjadi ikon kota-kota di Eropa. Lebih dari pada itu bangunan sejarah bisa menjadi aset wisata dan mendatangkan devisa bagi pemerintah.
Mengapa di Indonesia tidak bisa?  Saya yakin pemerintah kota di Indonesia ini mampu mengelola situs sejarah yang bisa dikenalkan kepada wisatawan.  Memang diperlukan biaya yang tidak sedikit, namun selain itu ada hal yang jauh lebih penting dari pelestarian situs sejarah. Yaitu kepedulian kita terhadap kejayaan dan kearifan yang ditinggalkan serta masih bisa dimaknai sampai sekarang.
Zaman boleh berkembang dan menjadi modern, tapi sebuah kota tidak akan terlepas dari sejarah masa lalu. Termasuk kota Yogyakarta yang memiliki nilai-nilai budaya yang akan terus menawarkan keunikan dan kekhasan bagi siapa saja. Oleh karena itu, plengkung gading akan tetap lestari dan menjadi ikon sejarah kota budaya, walaupun kota Yogyakarta mengalami perkembangan arus zaman.